Sunday, May 22, 2016

Kesultanan Peureulak, Aceh

Perlak merupakan sebuah daerah di pesisir timur daerah Aceh. Sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sumber, bahwa raja dan rakyat daerah negeri Perlak adalah keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi dan keturunan pasukan-pasukan pengikutnya. Naskah-naskah tua yang dijadikan sebagai rujukan tentag keberadaan Kerajaan Perlak ada tiga yaitu, Mamlakatil Ferlah wal Fasi karangan Abu Ishaq Makarani Al Fasy, Kitab Tazkirah Thabakat Jummu Sulthan as Shalatin karangan Syekh Syamsul,  dan Silsilah Raja-Raja Perlak dan Pasai karanga Bahri Abdullah as Asyi. Selain itu, ditemukan juga dalam catatan Marcopolo. Buku Zhufan Zhi yang ditulis Zhao Rugua tahun 1225 mengutip catatan seorang ahli geografi Chou Ku-fei bahwa ada negeri orang Islam yag jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Dan ada kepastian bahwa negeri yang dimaksud oleh Chou Ku-fei itu adalah Perlak. Ini karena dia menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunei memakan waktu 15 hari. 


Menurut buku Gerak Kebangkitan Aceh karangan M. Junus Jamil, agama Islam yang mula-mula masuk ke Aceh adalah Islam yang beraliran Syiah. Setelah Islam berkembang, berdirilah sebuah kerajaan Islam di daerah ini sekitar tahun 840 M. Kerajaan yang telah didirikan itu hidup subur da menjalar luas melalui dinasti raja-rajanya. Pada hari peresmian berdirinya Kerajaan Islam itu, Bandar Perlak ditukar namanya menjadi Bandar Khalifah.

A.    Sistem Pemerintahan
Raja pertama Perlak bernama Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah menganut aliran Syiah. Pada masa Sultan ketiga Sultan Sayyid Maulana Abbas Syah aliran Ahlus Sunnah masuk ke Perlak. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara antara Syiah dan Sunni, sehingga dalam jangka waktu dua tahun. Kerajaan Perlak tidak memiliki Sultan. Karena golongan Syiah mengalami kekalahan, maka yang menjadi sultan selanjutnya berasal dari golongan Sunni.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak.Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Adapun kemudian, pada masa pemerintahan Sultan yang ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, kerajaan Perlak terbagi dua, bagian pesisir yang di domisili oleh golongan Syiah dan bagian pedalaman di domisili oleh golongan Sunni. Hal ini tidak bertahan lama, karena pada sultan yang selanjutnya kerajaan Perlak kembali di bawah satu pemerintahan yaitu dari golongan Sunni. Penyebab utamannya karena pada saat ini Sriwijaya menyerang kerajaan Perlak sehingga sultan mangkat. Selanjutnya, pemerintahan kerajaan Perlak berjalan damai sampai akhirnya pada masa Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat kerajaan Perlak berakhir dan bersatu dengan kerajaan Samudera Pasai sekitar tahun 1295.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Bagian pertama, Perlak Pesisir (Syiah), dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Bagian kedua, Perlak Pedalaman (Sunni), dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023). Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga.  Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292.Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh. Kerajaan Perlak merupakan negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang berkualitas bagus untuk kapal.Tak heran kalau para pedagang dari Gujarat, Arab dan India tertarik untuk datang ke sini.Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat. Efeknya adalah perkembangan Islam yang pesat dan pada akhirnya munculnya Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

B.     Kehidupan Ekonomi
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.



C.    Kehidupan Sosial Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini


D.    Filsafat
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah orang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya. Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat bahwa Hamzah lahir di Syahrawi, Ayuthia ibu kota Siam lama hal ini didasarkan pada syairnya: “Hamzah asalnya Fansuri mendapat wujud ditanah Syahrawi Beroleh khilafah ilmu yang‘adil Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani” Dalam hal ini pada bait ke dua mendapat wujud di tanah Syahrawi dipahami sebagai Hamzah lahir di sana. Namun pendapat L.F. Brekel, Drewes mengatakan bahwa wujud dalam bait kedua itu diartikan bahwa Hamzah hendak mengatakan di syahrawilah dia bertemu dengan Tuhan. Artinya hamzah memulai mempelajari tarekat Wujudiayah. Kontroversi mengenai tempat kelahiran Hamzah seorang ulama besar ini memang tidak akan pernah selesai, karena data yang ada masih dipertentangkan dan belum ada yang akurat, hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan yang dikait-kaitkan dengan karya-karyanya. Hamzah fansuri diperkirakan hidup dan berkiprah sebelum dan selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil (1588-1604). Kraemer berpendapat bahwa Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat syah Almukammil sampai masa awal Iskandar Muda, atau paling tidak hingga tahun 1620M. Kalau kita melihat dari keberadaannya sebagai penulis produktif yang tercermin dari karya-karyanya, tentu Hamzah telah berkiprah sejak pemerintahan Sultan Alauddin bin Sultan Ahmadsyah Perak hingga pada Sultan Ali Ri’ayatsyah Al Mukammil. Hal ini dapat dilihat dalam sajaknya yang menggambarkan hubungan antara Hamzah dengan sultan, dalam syair berikut mengatakan:
“Hamba mengikat syair ini, Di bawah hadrat raja yang wali, Pada bait yang lain Hamzahmenulis: Syah Alam raja yang adil, Raja Qutub sempurna Kamil, Wali Allah sempurna wasil, Raja‘arif lagi mukammil. Bait-bait ini secara eksplisit memberikan pesan bahwa hubungan antara Hamzah dengan sultan adalah harmonis, bahkan kata Wali Allah dalam syairnya menampakkan bahwa pengakuan dan penghargaan Hamzah kepada sultan sebagai seorang penguasa.tertinggi. Bahkan Sultan Alaiddin Ali Riayatsyah diberi sebutan dengan wali Allah mengandung implikasi sultan memiliki “otoritas sufistik keagamaan”, yang menyiratkan bahwa wali dalam Islam bermakna seorang yang saleh yang dianugerahi kekuatan dan kelebihan yang berfungsi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Sedangkan sebutan sufistik yang tertinggi sebagai seorang yang “sempurna atau kamil” dan “almukammil” yang berarti seorang yang sempurna atau “insan kamil.” (Amirul Hadi, 2010, 74). Hubungan yang harmonis antara Hamzah Fansuri dapat diceritakan juga oleh John Davis ketika mengunjungi Aceh tahun 1599 bahwa ada seorang pemuka agama yang sangat dihormati oleh rakyat dan penguasa beliau sebagai Syaikh al-Islam, pada masa Sultan Al Mukammil. ( Jon Davis, 1880, 151).
Paham dan pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yang dibawanya bersama seorang muridnya bernama Syamsuddin Al-Sumatrani adalah paham wujudiyah. Mereka berdua telah memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktek keagamaan kaum Muslim Nusantara pada paruh pertama abad ke- 17 M. Ajaran-ajaran mereka sangat dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu Arabi dan Al-Jilli. Misalnya bahwa alam raya merupakan serangkaian emanasi neo-platonisme, dan menganggap setiap emanasi adalah aspek Tuhan. Tuhan sebagai wujud tunggal yang tiada bandingan dan sekutu menampakkan sifat-sifat kreatifNya melalui ciptaanNya. Pendapatnya ini merujuk pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 151 yang artinya “ Kemanapun kamu memandang akan tampak wajah Allah”. Paham ini menyebabkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin di tuduh sesat dan menyimpang. Pemikiran mareka akhirnya ditentang oleh ulama-ulama besar Aceh yang datang belakangan, yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkili.

Adapun karya-karya Hamzah Fansuri antara lain:
1).Syarab al-‘Asyiqin
2).Asrar al-‘Arifin
3).Al-Muntahi.

Syarab al-‘Asyiqi merupakan risalah tasawuf pertama dalam bahasa melayu yang merupakan ringkasan ajaran faham wujudiyah sebagai pengantar memahami ilmu suluk. Di dalamnya diuraikan cara-cara mencapai makrifat dan tahap-tahap ilmu suluk yang terdiri dari syariat, tarekat, hakekat dan makrifat. Asrar al-‘Arifin kitab hamzah yang menguraikan pandangan falsafahnya tentang metafisika dan teologi sufi, dengan cara menafsirkan utaian syair-syair karangannya menggunakan metode hermeneutika sufi (ta’wil). Sedangkan kitab Muntahi merupakan risalah tasawufnya yang paling ringkas namun padat, yang menguraikan pandangan Hamzah Fansuri mengenai ucapan-ucapan sytahat (teofani) sufi yang sering menimbulkan perdebatan di kalangan ulama. Misalnya ucapan dari Mansur al-Hallaj “An al- Haqq” (Akulah kebenaran kreatif). Akhir perjalan kiprah Hamzah Fansuri kembali ke Singkil mendirikan dayah atau pesantren dan meninggal di sana. Makamnya terdapat di Desa Oboh, Kecamatan Rangkang, Kabupaten Aceh Singkil. Setelah pemekaran wilayah Desa ini masuk wilayah Kota Subulussalam. Kini makamnya dirawat dan dijaga dengan baik, namun sangat disayangkan kini telah terjadi vandalism (kerusakan) berupa pengecatan pada nisan makam, sehingga menyebabkan hilang nilai historis dan keaslian makam.

Foto : Makam Hamzah Fansuri

DAFTAR PUSTAKA

Hadi Wiji Muthari, Abdul. 2002. Hamzah Fansuri, risalah tasawuf dan puisi-puisinya, diakses dari https://books.google.co.id/books?id=rLdkAAAAMAAJ&dq=filsafat%20kesultanan%20perlak&hl=id&source=gbs_similarbooks, pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 16.00 WIB


Rusdi Sufi, dkk. 2003. Sejarah Kebudayaan Aceh. Banda Aceh: PDIA.

Soekama Karya, dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996.


Multazami, Dawam. 2011. Kesultanan Aceh Dengan Peninggalan Kesultanannya, diakses dari http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/dialogia/article/download/277/234 , pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 17.15 WIB

No comments:

Post a Comment