Perlak merupakan sebuah daerah di pesisir timur daerah Aceh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam banyak sumber, bahwa raja dan rakyat daerah
negeri Perlak adalah keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi dan keturunan
pasukan-pasukan pengikutnya. Naskah-naskah tua yang dijadikan sebagai rujukan
tentag keberadaan Kerajaan Perlak ada tiga yaitu, Mamlakatil Ferlah wal Fasi
karangan Abu Ishaq Makarani Al Fasy, Kitab Tazkirah Thabakat Jummu Sulthan as
Shalatin karangan Syekh Syamsul, dan Silsilah Raja-Raja Perlak dan
Pasai karanga Bahri Abdullah as Asyi. Selain itu, ditemukan juga dalam catatan
Marcopolo. Buku Zhufan Zhi yang ditulis Zhao Rugua tahun 1225 mengutip catatan
seorang ahli geografi Chou Ku-fei bahwa ada negeri orang Islam yag jaraknya
hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Dan ada kepastian bahwa negeri yang
dimaksud oleh Chou Ku-fei itu adalah Perlak. Ini karena dia menyatakan
pelayaran dari Jawa ke Brunei memakan waktu 15 hari.
Menurut buku Gerak Kebangkitan Aceh karangan M. Junus Jamil,
agama Islam yang mula-mula masuk ke Aceh adalah Islam yang beraliran Syiah.
Setelah Islam berkembang, berdirilah sebuah kerajaan Islam di daerah ini
sekitar tahun 840 M. Kerajaan yang telah didirikan itu hidup subur da menjalar
luas melalui dinasti raja-rajanya. Pada hari peresmian berdirinya Kerajaan
Islam itu, Bandar Perlak ditukar namanya menjadi Bandar Khalifah.
A. Sistem Pemerintahan
Raja pertama Perlak
bernama Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah menganut aliran Syiah.
Pada masa Sultan ketiga Sultan Sayyid Maulana Abbas Syah aliran Ahlus Sunnah
masuk ke Perlak. Hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara antara Syiah dan
Sunni, sehingga dalam jangka waktu dua tahun. Kerajaan Perlak tidak memiliki
Sultan. Karena golongan Syiah mengalami kekalahan, maka yang menjadi sultan
selanjutnya berasal dari golongan Sunni.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas
Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak.Setelah wafatnya sultan pada
tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni
sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Kaum Syiah memenangkan
perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat
Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi
pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum
Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Adapun kemudian, pada masa pemerintahan Sultan yang ketujuh,
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, kerajaan Perlak
terbagi dua, bagian pesisir yang di domisili oleh golongan Syiah dan bagian
pedalaman di domisili oleh golongan Sunni. Hal ini tidak bertahan lama, karena
pada sultan yang selanjutnya kerajaan Perlak kembali di bawah satu pemerintahan
yaitu dari golongan Sunni. Penyebab utamannya karena pada saat ini Sriwijaya
menyerang kerajaan Perlak sehingga sultan mangkat. Selanjutnya, pemerintahan
kerajaan Perlak berjalan damai sampai akhirnya pada masa Sultan Makhdum
Alaiddin Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat kerajaan Perlak berakhir dan bersatu
dengan kerajaan Samudera Pasai sekitar tahun 1295.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan
ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi
pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri
dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Bagian pertama,
Perlak Pesisir (Syiah), dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986
– 988). Bagian kedua, Perlak Pedalaman (Sunni), dipimpin oleh Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023). Kedua
kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua
wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia
meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi
perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam
Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat,
yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai
Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya
hingga tahun 1006. Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad
Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan
negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya dengan para pemimpin
kerajaan tetangga. Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan
Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.Kesultanan Perlak berakhir
setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat
meninggal pada tahun 1292.Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan
Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada
saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari
al-Malik al-Saleh. Kerajaan Perlak merupakan negeri yang terkenal sebagai
penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang berkualitas bagus untuk kapal.Tak heran
kalau para pedagang dari Gujarat, Arab dan India tertarik untuk datang ke
sini.Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang
amat maju. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para
saudagar muslim dengan penduduk setempat. Efeknya adalah perkembangan Islam
yang pesat dan pada akhirnya munculnya Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan
Islam pertama di Indonesia.
B. Kehidupan Ekonomi
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat
dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari
emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung
dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai
penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal.
Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan
Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut
juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka
berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu.
Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana
caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga
yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai
konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat
pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan
cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja,
pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari
pihak pendatang di daerah ini
D. Filsafat
Hamzah Fansuri
Hamzah
Fansuri adalah orang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah
penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang
sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang
tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi,
disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah
Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar
telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang
monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat
ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu
disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut.
Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah
Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel.
Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang
menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat
pengetahuan Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh
Francois Valentijn bahwa Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang
dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair
Melayu gubahannya. Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat
bahwa Hamzah lahir di Syahrawi, Ayuthia ibu kota Siam lama hal ini didasarkan pada
syairnya: “Hamzah asalnya Fansuri mendapat wujud ditanah Syahrawi Beroleh khilafah
ilmu yang‘adil Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani” Dalam hal ini pada bait ke
dua mendapat wujud di tanah Syahrawi dipahami sebagai Hamzah lahir di sana.
Namun pendapat L.F. Brekel, Drewes mengatakan bahwa wujud dalam bait kedua itu
diartikan bahwa Hamzah hendak mengatakan di syahrawilah dia bertemu dengan
Tuhan. Artinya hamzah memulai mempelajari tarekat Wujudiayah. Kontroversi
mengenai tempat kelahiran Hamzah seorang ulama besar ini memang tidak akan
pernah selesai, karena data yang ada masih dipertentangkan dan belum ada yang
akurat, hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan yang dikait-kaitkan dengan
karya-karyanya. Hamzah fansuri diperkirakan hidup dan berkiprah sebelum dan
selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil
(1588-1604). Kraemer berpendapat bahwa Hamzah hidup pada masa pemerintahan
Sultan Alaiddin Riayat syah Almukammil sampai masa awal Iskandar Muda, atau
paling tidak hingga tahun 1620M. Kalau kita melihat dari keberadaannya sebagai
penulis produktif yang tercermin dari karya-karyanya, tentu Hamzah telah
berkiprah sejak pemerintahan Sultan Alauddin bin Sultan Ahmadsyah Perak hingga
pada Sultan Ali Ri’ayatsyah Al Mukammil. Hal ini dapat dilihat dalam sajaknya
yang menggambarkan hubungan antara Hamzah dengan sultan, dalam syair berikut
mengatakan:
“Hamba mengikat syair ini, Di bawah hadrat raja yang wali, Pada bait yang lain
Hamzahmenulis: Syah Alam raja yang adil, Raja Qutub sempurna Kamil, Wali Allah
sempurna wasil, Raja‘arif lagi mukammil. Bait-bait ini secara eksplisit memberikan
pesan bahwa hubungan antara Hamzah dengan sultan adalah harmonis, bahkan kata
Wali Allah dalam syairnya menampakkan bahwa pengakuan dan penghargaan Hamzah
kepada sultan sebagai seorang penguasa.tertinggi. Bahkan Sultan Alaiddin Ali
Riayatsyah diberi sebutan dengan wali Allah mengandung implikasi sultan
memiliki “otoritas sufistik keagamaan”, yang menyiratkan bahwa wali dalam Islam
bermakna seorang yang saleh yang dianugerahi kekuatan dan kelebihan yang
berfungsi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Sedangkan sebutan
sufistik yang tertinggi sebagai seorang yang “sempurna atau kamil” dan
“almukammil” yang berarti seorang yang sempurna atau “insan kamil.” (Amirul
Hadi, 2010, 74). Hubungan yang harmonis antara Hamzah Fansuri dapat diceritakan
juga oleh John Davis ketika mengunjungi Aceh tahun 1599 bahwa ada seorang
pemuka agama yang sangat dihormati oleh rakyat dan penguasa beliau sebagai
Syaikh al-Islam, pada masa Sultan Al Mukammil. ( Jon Davis, 1880, 151).
Paham dan pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri
yang dibawanya bersama seorang muridnya bernama Syamsuddin Al-Sumatrani adalah
paham wujudiyah. Mereka berdua telah memainkan peranan penting dalam membentuk
pemikiran dan praktek keagamaan kaum Muslim Nusantara pada paruh pertama abad
ke- 17 M. Ajaran-ajaran mereka sangat dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu
Arabi dan Al-Jilli. Misalnya bahwa alam raya merupakan serangkaian emanasi
neo-platonisme, dan menganggap setiap emanasi adalah aspek Tuhan. Tuhan sebagai
wujud tunggal yang tiada bandingan dan sekutu menampakkan sifat-sifat
kreatifNya melalui ciptaanNya. Pendapatnya ini merujuk pada Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah, ayat 151 yang artinya “ Kemanapun kamu memandang akan tampak wajah
Allah”. Paham ini menyebabkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin di tuduh sesat dan
menyimpang. Pemikiran mareka akhirnya ditentang oleh ulama-ulama besar Aceh
yang datang belakangan, yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkili.
Adapun karya-karya Hamzah Fansuri antara lain:
1).Syarab al-‘Asyiqin
2).Asrar al-‘Arifin
3).Al-Muntahi.
Syarab al-‘Asyiqi merupakan risalah
tasawuf pertama dalam bahasa melayu yang merupakan ringkasan ajaran faham
wujudiyah sebagai pengantar memahami ilmu suluk. Di dalamnya diuraikan
cara-cara mencapai makrifat dan tahap-tahap ilmu suluk yang terdiri dari
syariat, tarekat, hakekat dan makrifat. Asrar al-‘Arifin kitab hamzah yang
menguraikan pandangan falsafahnya tentang metafisika dan teologi sufi, dengan
cara menafsirkan utaian syair-syair karangannya menggunakan metode hermeneutika
sufi (ta’wil). Sedangkan kitab Muntahi merupakan risalah tasawufnya yang paling
ringkas namun padat, yang menguraikan pandangan Hamzah Fansuri mengenai
ucapan-ucapan sytahat (teofani) sufi yang sering menimbulkan perdebatan di
kalangan ulama. Misalnya ucapan dari Mansur al-Hallaj “An al- Haqq” (Akulah
kebenaran kreatif). Akhir perjalan kiprah Hamzah Fansuri kembali ke Singkil
mendirikan dayah atau pesantren dan meninggal di sana. Makamnya terdapat di
Desa Oboh, Kecamatan Rangkang, Kabupaten Aceh Singkil. Setelah pemekaran
wilayah Desa ini masuk wilayah Kota Subulussalam. Kini makamnya dirawat dan
dijaga dengan baik, namun sangat disayangkan kini telah terjadi vandalism
(kerusakan) berupa pengecatan pada nisan makam, sehingga menyebabkan hilang
nilai historis dan keaslian makam.
Foto : Makam
Hamzah Fansuri
DAFTAR PUSTAKA
Hadi Wiji Muthari, Abdul. 2002.
Hamzah
Fansuri, risalah tasawuf dan puisi-puisinya, diakses dari https://books.google.co.id/books?id=rLdkAAAAMAAJ&dq=filsafat%20kesultanan%20perlak&hl=id&source=gbs_similarbooks,
pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 16.00 WIB
Rusdi Sufi, dkk. 2003. Sejarah
Kebudayaan Aceh. Banda Aceh: PDIA.
Soekama Karya,
dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1996.
Multazami, Dawam. 2011.
Kesultanan Aceh Dengan Peninggalan
Kesultanannya, diakses dari http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/dialogia/article/download/277/234
, pada
tanggal 20 Mei 2016 pukul 17.15 WIB
No comments:
Post a Comment