Thursday, May 19, 2016

Fenomena Penyewaan Rahim secara Fiqih





Video ini membahas tentang fenomena penyewaan rahim secara fiqih. Belakangan ini kita cukup dihebohkan dengan berita berdirinya sebuah sebuah ‘pabrik bayi’ raksasa di India. Cikal bakal pabrik bayi ini adalah sebuah klinik kesuburan yang dibangun oleh seorang dokter pakar kesuburan bernama dr. Nayna Patel. Sebuah sumber menyebutkan, Nayna menjadi terkenal setelah keberhasilannya membantu seorang nenek di Inggris yang melahirkan cucunya sendiri. Dokter wanita yang banyak menuai kontroversi ini mengaku memiliki ribuan pelanggan dari seluruh dunia. Ia juga mengatakan bahwa apa yang tengah dilakukannya adalah wujud dari misinya sebagai seorang feminis.

Pabrik bayi ini sebenarnya adalah sebuah klinik surrogacy (penyewaan rahim dengan inseminasi buatan), di mana seseorang atau pasangan dapat menitipkan sperma atau embrio mereka (hasil inseminasi buatan) pada rahim seorang perempuan yang disewa. Perempuan-perempuan inilah yang kemudian disebut surrogate mother atau ibu pengganti. Mereka disewa rahimnya dengan tarif 8.019 dollar atau sekitar Rp 91 juta, sementara klinik tersebut menerima sekitar Rp 319 juta dari orangtua yang mengharapkan anak. Dan jika mereka mengandung anak kembar, lebih besar lagi bayaran yang akan mereka terima. Para ibu pengganti ini berasal dari keluarga-keluarga miskin India. Dan kebanyakan pelanggan klinik ini adalah pasangan ataupun individu-individu kaya dari Eropa dan Amerika. Kini, klinik Nayna menampung sekitar 100 perempuan hamil dalam satu rumah. Dan sebuah rumah sakit surrogacy berkelas super sedang dalam proses pembangunan.

Bagaimana sebenarnya Islam memandang perihal pabrik bayi ini? Ada banyak segi yang dapat disoroti dari fenomena ini, mulai dari hukumnya secara fiqh, ide feminisme yang melandasinya, dan kaitannya dengan fenomena akhir zaman, dimana ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa salah satu fenomena akhir zaman adalah budak-budak akan melahirkan tuannya. Apakah pabrik bayi ini adalah sebuah pemenuhan nubuwah akhir zaman? Ya, bisa jadi. Namun pada kesempatan kali ini, MuslimahZone hanya akan mencoba mengangkat hukum surrogacy (penyewaan rahim) itu sendiri secara fiqh. Adapun kaitannya dengan isu feminisme dan fenomena akhir zaman, insya Allah akan kami angkat dalam kesempatan berikutnya. Semoga Allah memberikan kesempatan, aamiin.


Pada klinik surrogacy bernama Akanksha ini disebutkan dalam beberapa sumber dan dalam beberapa video, bahwa pasangan atau siapapun dapat menitipkan sperma atau embrio mereka kemudian sperma maupun embrio tersebut ditanam dalam rahim seorang ibu pengganti yang dibayar. Jika mereka adalah pasangan –tentu tidak menjadi soal, pasangan resmi atau tidak- maka benih keduanya (sperma dan sel telur) akan di ambil kemudian dilakukan inseminasi (pembuahan) buatan dalam tabung di laboratorium. Jika pembuahan berhasil dan didapatkan embrio yang baik, maka embrio tersebut akan disuntikkan ke dalam rahim ibu pengganti. Dan jika mereka adalah individu tunggal atau pasangan homo atau lesbi, maka mereka dapat menitipkan sperma (jika pasangan lesbi atau perempuan single maka sperma dapat dibeli di bank sperma) untuk disuntikkan ke dalam rahim ibu pengganti, atau bisa juga sperma mereka beli dan sel telur milik mereka sendiri, setelah digabungkan dalam laboratorium (dilakukan inseminasi buatan) kemudian disuntikkan dalam rahim ibu pengganti.

Dr. Ahmad Zain An Najjah dalam bukunya berjudul Halal dan Haram Dalam Pengobatan Edisi 1, menjelaskan panjang lebar mengenai hukum bayi tabung, dan beberapa poin cocok dengan kasus klinik surrogacy ini. Beliau menyebutkan kurang lebih bahwa penyewaan rahim atau surrogacy hukumnya adalah haram, karena menyebabkan terjadinya pencampuran nasab, meskipun embrio yang ditanam dalam rahim ibu pengganti berasal dari benih (sel sperma dan sel telur) pasangan yang sah (suami-istri).

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS. Al Mujadilah: 2, “Ibu-ibu mereka tidaklah lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.” Jika mengikuti bunyi ayat ini secara lahir, maka kita akan mengatakan bahwa ibu si anak adalah ibu pengganti tersebut, padahal sel telur berasal dari istri sah ayahnya. Maka, inilah yang kemudian disimpulkan bahwa surrogacy atau penyewaan rahim ini akan menimbulkan pencampuran nasab.


Secara hukum, penyewaan rahim dilarang di Indonesia. Tapi jangan salah, praktik sewa rahim ternyata sudah banyak dilakukan secara diam-diam dan tertutup di kalangan keluarga. Seperti apa sewa rahim di Indonesia?

"Ada tapi diam-diam," kata aktivis perempuan Agnes Widanti dalam seminar 'Surrogate Mother (Ibu Pengganti) Dipandang dari Sudut Nalar, Moral, dan Legal' di Ruang Teater Thomas Aquinas, Universitas Katolik (Unika) Soegiyapranata Semarang, Jl Pawiyatan Luhur, Sabtu (5/6/2010).

Agnes yang juga pengajar Unika dan koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng itu mengacu pada thesis mahasiswinya yang berjudul 'Penerapan Hak Reproduksi Perempuan dalam Sewa-menyewa Rahim'. Thesis itu mengambil lokasi di Papua dan menjelaskan adanya sewa-menyewa rahim.

"Hanya, sewa-menyewa itu tak pernah dimasalahkan karena dilakukan dalam lingkup keluarga. Jadi ada keponakan yang menyewa rahim tantenya agar bisa mendapatkan anak," imbuh perempuan bergelar profesor ini.

Kasus sewa rahim yang sempat mencuat adalah pada Januari 2009 ketika artis Zarima Mirafsur diberitakan melakukan penyewaan rahim untuk bayi tabung dari pasangan suami istri pengusaha. Zarima, menurut mantan pengacaranya, Ferry Juan mendapat imbalan mobil dan Rp 50 juta dari penyewaan rahim tersebut. Tapi kabar ini telah dibantah Zarima.

Menurut Agnes, jika kasus sewa rahim Zarima tidak dapat diverifikasi, thesis yang dilakukan mahasiswanya benar-benar terjadi yang praktiknya dilakukan diam-diam.

Sebab itu, Agnes bersama dua pembicara lainnya dalam acara itu, Liek Wilardjo (Dosen UKSW Salatiga) dan Sofwan Dahlan (Pakar Hukum Kesehatan Undip), berharap pemerintah memperhatikan masalah tersebut. Sewa-menyewa rahim bukan persoalan biologis semata, tapi juga kehidupan dan kemanusiaan.

"Selama ini, hukum terlambat merespon kebutuhan," kata Sofwan Dahlan.

Baik Agnes maupun Dahlan menyebut wacana sewa rahim bukan bermaksud latah, melainkan antisipasi terhadap problem kehidupan. Tidak menutup kemungkinan, banyak pasutri yang ingin melakukan sewa rahim, sehingga memilih ke luar negeri karena di dalam negeri belum diizinkan.

Seorang peserta seminar, dr Iskandar mengaku menerima keluhan pasutri yang kesulitan mempunyai keturunan karena faktor biologis si perempuan. "Saya tak bisa menyarankan mereka agar sewa rahim karena memang di negara kita tak ada payung hukumnya," katanya.

Seminar yang digelar Magister Hukum Kesehatan itu diikuti sekitar 100 orang. Mereka terdiri dari mahasiswa, kalangan medis, dan aktivis sosial.

Larangan sewa rahim di Indonesia termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga hanya mengeluarkan fatwa tentang bayi tabung yang boleh dilakukan tapi tidak dengan penyewaan rahim.