Judul : Gerakan
Ahmadiyah di Indonesia
Penulis : Iskandar Zulkarnain
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Waktu Terbit :
September 2005
Halaman : 342 halaman
Alamat
ebook: https://books.google.co.id/books?id=3uhvN8yBjSUC&pg=PA159&dq=penyebaran+islam+di+indonesia&hl=id&sa=X&redir_esc=y
Kasus
kekerasan terhadap anggota Ahmadiyah di berbagai daerah seperti Bogor,
Sukabumi, Cianjur, dan lainnya beberapa bulan terakhir membuktikan bahwa “main
hakim” sendiri masih menjadi modus operandi kelompok Islam dominan dalam
menyelesaikan persoalan internal umat Islam. Yang lebih parah, kelompok Islam
moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, seolah buta dan bisu
menyaksikan sebagian umat Islam yang lain paham itu dianiaya tanpa ada
pembelaan. Kasus ini dianggap “angin lalu” yang tidak perlu diperhatikan. Yang
menarik, meski anggota Ahmadiyah “dianiaya tiada henti” oleh mereka yang
mengklaim umat Islam Indonesia, mereka tetap tidak terpancing untuk melawan
dengan kekerasan pula. Mengapa demikian? Karena dalam doktrin Ahmadiyah,
kekerasan tidak boleh dilakukan baik untuk alasan dakwah ataupun lainnya. Bagi
mereka, jihad lebih berarti menggunakan pena, daripada menggunakan parang,
pedang, dan senjata yang dekat dengan kekerasan lainnya. Tidak mengherankan,
jika mereka justru menempuh jalur hukum untuk menghadapi kelompok Islam yang
gemar melakukan kekerasan itu. Buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia ini
memaparkan secara komprehensip asal muasal gerakan Ahmadiyah di India,
perkembangan Ahmadiyah di Indonesia sejak tahun 1920-1942, berbagai strategi
dan gerakan Ahmadiyah di Indonesia, dan perkembangan mutakhir tentang Ahmadiyah
di Indonesia. Buku ini terbit pada momentum yang sangat tepat, di saat anggota
Ahmadiyah Indonesia di berbagai daerah mengalami ketakutan, dan kekhawatiran
karena serangan dan kekerasan yang bisa menimpa mereka kapan saja. Buku ini
mengisi kekosongan tentang Ahmadiyah yang selama ini banyak disalahpahami
orang. Di satu sisi, banyak orang tidak tahu betul bagaimana sebenarnya
Ahmadiyah dan doktrin-doktrinnya, di sisi lain pada kenyataanya aparat kepolisian
dan pemerintah tidak mampu melindungi anggota Ahmadiyah yang teraniaya itu. Hal
ini sangat mengkhawatirkan, karena negara membiarkan antarkelompok intraagama
“berbaku hantam” tanpa ada mekanisme hukum yang mampu menjembati dan
menyelesaikannya.
Secara historis, berdirinya Ahmadiyah
tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini.
Mirza lahir pada 13 Pebruari 1835 di desa Qodian Punjab, India dan meninggal
tahun 1908 di Lahore. Ia memiliki darah ningrat, karena ia keturunan Haji
Barlas, raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak Temur, dinasti
Mughal. Gerakan Ahmadiyah lahir di India pada tahun 1888. Sesudah India menjadi
koloni Inggris, umat Islam India semakin terisolasi dengan sikap-sikap lama
(baca: konservatif) yang masih dipelihara. Keadaan umat Islam India ini semakin
buruk terutama sesudah terjadi pemberontakan Mutiny tahun 1857 masehi. Titik
pijak kelahiran Ahmadiyah dimulai ketika umat Islam India mengalami kemunduran
dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan lainnya.Menurut Wilfred Cantwell
Smith, Ahmadiyah lahir di tengah huru-hara runtuhnya masyarakat Islam lama
dengan sikap yang baru, karena infiltrasi budaya (dari Inggris), serangan
gencar kaum misionaris Kristen, dan berdirinya Universitas Aligarh. Ahmadiyah
lahir sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen memperoleh
pengikut-pengikut baru dan serangan Hindu (Arya Samaj). Selain itu, juga
sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa Sayyid
Ahmad Khan dengan Aligarhnya. Selain itu, secara internal umat Islam pada masa
itu baik di India maupun luar India berada kondisi yang memprihatinkan. Sikap
jumud dan fatalistik membuat umat Islam statis sehingga umat Islam mengalami
kemunduran termasuk dalam bidang keagamaan. Dalam konteks ini, Ahmadiyah lahir
sebagai protes atas kemorosotan Islam pada saat itu yang sebagai besar di bawah
kungkungan kolonialisme negara-negara Barat. Mirza Ghulam Ahmad melakukan
pembaruan Islam dalam hal sebagai berikut: masalah kematian Nabi Isa a.s.
(al-Mahdi dan al-Masih), masalah mujaddid, masalah wahyu, masalah kenabian,
masalah khilafat, dan masalah Jihad.
Dalam perkembanganya, Ahmadiyah “pecah”
menjadi dua, yakni Ahmadiyah Qodian dan Ahmadiyah Lahore. Gerakan Ahmadiyah
Lahore di Indonesia dipandang lebih dekat dengan golongan sunni, karena
menyakini bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi terakhir, dan sesudahnya tidak
ada Nabi lagi, baik nabi baru maupun nabi lama. Posisi Mirza Ghulam Ahmad bagi
Ahmadiyah Lahore hanya sebagai pembaru (reformer), bukan seorang nabi.
Sedangkan Ahmadiyah Qadian berkeyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad meninggal,
masih akan tetap muncul nabi-nabi lain sampai hari akhir. Nabi-nabi yang muncul
setelah Nabi Muhammad disebut sebagai nabi buruzi, yaitu nabi yang tidak
membawa syariat. Mirza Ghulam Ahmad sendiri percaya bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah serta sangat percaya Nabi Muhammad Saw.
adalah khatam al-anbiya. Ajaran Ahmadiyah kini memiliki sekitar 200 juta
pengikut setia di seluruh dunia. Di Indonesia diperkirakan tak kurang dari 500
ribu Ahmadie—sebutan untuk pengikut Ahmadiyah. Aliran Ahmadiyah Qadian di
Indonesia memang lebih berkembang dari segi anggota. Kampus Mubarok di Bogor
yang diserang suatu kelompok Islam beberapa waktu lalu itu merupakan pusat
penyebaran Ahmadiyah Qadian di Indonesia. Sedangkan aliran Ahmadiyah Lahore
mendirikan organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berpusat di
Yogyakarta.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia melalui
pelajar Sumatera yang belajar di India dan kembali ke Indonesia sekitar tahun
1925. Mereka ini membawa tafsiran baru terhadap Al-Qur’an yang rasional.
Karya-karya pemikir Ahmadiyah mulai menjadi bahan bacaan yang menarik.
Sampai-sampai Haji Agus Salim (tokoh Sarekat Islam) menyatakan bahwa dari
segala jenis tafsir Al-Qur’an, tafsir Ahmadiyalah (baca: The Holy Qur’an karya
Maulana Muhammad Ali) yang paling baik untuk memberi kepuasan kepada
pemuda-pemuda Indonesia terpelajar. Kegiatan Ahmadiyah menyebar di berbagai
daerah seperti Yogyakarta, Bogor, Tasikmalaya, Sukabumi, Banjarnegara,
Wonosobo, Kuningan, Lombok Timur, Purwokerta dan daerah lainnya. Sebagai
gerakan dakwah, Ahmadiyah menitik beratkan aspek spiritual Islam yang bersifat
mahdiistis, yakni adanya suatu keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
al-Mahdi atau “juru selamat” yang mengemban misi melenyapkan kegelapan, dan
menciptakan perdamaian di dunia. Dalam berdakwah, Ahmadiyah menggunakan sikap
yang sopan, santun, dan tidak suka menempuh jalan kekerasan. Media yang
digunakan dakwah antara lain: penerbitan, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam 100
bahasa, lembaga pendidikan, seminar, dialog, kajian buku dan televisi melalui
Muslim Television Ahmadiyah (MTA/Ahmadiyah Qadian). Media yang terakhir ini
terbilang sangat canggih, karena media elektronik itu mampu menjangkau kawasan
seluruh dunia dan beragam latar belakang agama. Dalam berbagai kesempatan
dakwah, orang-orang Ahmadie sangat percaya diri menyebarkan ajarannya dengan
cara berdebat terbuka. Sehingga, iklim dialogis sebenarnya mereka miliki
sebagian dari strategi dakwah. Buku ini berusaha mendedahkan segala yang
mungkin masih menjadi misteri bagi banyak orang tentang doktrin-doktrin
Ahmadiyah. Selain itu, ia juga mengungkap dengan tajam akar dan target gerakan
Ahmadiyah, serta kiprahnya di Indonesia. Menurut Azyumardi Azra, buku ini
merupakan buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap membahas
gerakan Ahmadiyah di Indonesia, terutama dari sudut pandang sejarah. Meskipun
sarat dengan literatur dan rujukan, buku ini cukup lancar berkisah tentang
sepak terjang Ahmadiyah baik Qodian maupun Lahore, mulai dari awal
kedatangannya di Indonesia hingga pengujung abad ke-20. Membaca buku ini kita
akan lebih dewasa dalam menyikapi gerakan Ahmadiyah di Indonesia yang
akhir-akhir ini mereka yang menjadi “korban” serangan fisik dan psikologis dari
kelompok Islam yang tidak toleran. Buku ini memang tidak berpretensi untuk
mendukung atau menolak pihak-pihak yang pro dan kontra, melainkan untuk
mendudukkan secara proporsional pemikiran dan gerakan Ahmadiyah dalam peta
pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia. Pesan utama buku ini bahwa kita
harus menghormati dan menghargai perbedaan tafsir terhadap Al-Qur’an, yang
berimplikasi pada keyakinan yang berbeda.