Makna Identitas adalah sebagai perwujudan tanda tanda, ciri-ciri atau jati diri
yang melekat pada diri seorang atau kelompok sehingga membedakan dengan yang
lain. Jadi identitas budaya Islam dapat di artikan sebagai suatu karakter
khusus yang melekat dalam suatu kebudayaan yang islami sehingga bisa dibedakan
antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Begitupun dengan keberadaan
budaya Islam di Bima, dimana di dana Mbojo/Mbari memiliki identitas, ciri
serta keunikan kebiasaan tersendiri dibandingkan dengan sejarah serta kebiasaan
di daerah dan kota-kota lainnya.
Melirik sejarah masuknya
kerajaan Islam di dana Mbojo/Mbari, menurut versi Bo Sangaji Kai, La Kai (putra
mahkota kerajaan Bima) ditemani La Mbilla berangkat menemui Sultan Alauddin di
Gowa, Makassar agar mengirimkan pasukan perangnya untuk merebut kembali tahta
kerajaannya yang sedang dikuasai oleh Raja Salise (sekutu Belanda). Sultan Gowa
waktu itu menyanggupi dengan syarat La Kai dan La Mbilla masuk Islam dan
membantu penyebaran agama Islam di tanah Bima (Dana Mbojo).
Syarat itu dipenuhi oleh La
Kai dengan memeluk Islam pada tahun 1609 dan menikah dengan adik ipar Sultan
Alauddin. Setelah itu, berangkatlah La Kai atau Abdul Kahir dan La Mbilla atau
Jalaluddin, dengan dua muballigh Melayu yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri
Tiro beserta bala tentara Kesultanan Gowa ke Bima dan berhasil mengalahkan Raja
Salise berserta pengikutnya. Setelah La Kai kembali naik tahta, La Kai atau
Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Kesultanan Bima dan menjadikan Islam sebagai
agama resmi kerajaan pada 5 Juli 1640 M (atau 18 Rabiul Awal 1050).Tanggal 18
Rabiul Awal menjadi hari pelaksanaan perayaan Hanta U'a Pua (perayaan sejarah
masuknya Islam dan Maulid Nabi di Bima). 18 Rabiul Awal yang waktu itu
bertepatan dengan tanggal 5 Juli menurut tahun Masehi kemudian menjadi Hari
Jadi Bima yang setiap tahun diperingati oleh segenap rakyat Bima
Orang Bima punya watak
religius yang khas.Sejarawan Belanda Dr. Peter Carey (1986) memuji daerah ini
sebagai kesultanan di Indonesia Timur yang tersohor karena ketaatannya pada
Agama Islam.Pujian itu tidak berlebihan.Banyak ulama terkemuka dari Bima. Di
kalangan Ashhab Al-Jawiyyin atau saudara kita orang Jawi – demikian sumber arab
– di Mekkah sekitar abad ke-18, Syekh Abdulgani Bima telah menjadi guru besar
di madrasah Haramayn. Salah satu muridnya adalah KH. Hasyim Asy’ary, pendiri
Nahdlatul Ulama (NU). Islam demikian melekat, antara lain karena peranan
kesultanan yang begitu kuat, yang menjadikan Islam sebagai agama raja dan
kerajaan. Seluruh elemen kekuasaan didayagunakan untuk kepentingan Islam.
Raja misalnya menetapkan
aturan untuk membangun Masjid Jami di tiap kecamatan.Dananya dari hasil
menggarap tanah negara baik itu Dana Pajakai dan Dana Ngaji.Sultan juga
menunjuk pemimpin agama di tiap kecamatan yakni Lebe Na’e. Yang mengesankan,
seperti cara Sultan Muhammad Salahuddin. Beliau bukan sekedar membangun rumah
ibadah tetapi meningkatkan fungsi masjid, mushalla, langgar dan surau menjadi
tampat pengajian Al-Qur’an bagi anak-anak dan tempat pengkajian ilmu agama bagi
orang dewasa.Walhasil mesjid menjadi pusat segala aktivitas sosial. Menyadari
pentingnya pendidikan, sultan bahkan mengirim para pelajar terbaik untuk
menuntut ilmu ke luar negeri seperti Mekkah dan negara Arab lain. Mereka diberi
beasiswa dengan syarat harus kembali mengabdi untuk Bima setelah sukses menuntut
ilmu.Kepada para pejabat, sultan menekankan untuk berperilaku Islami.Beliau
mengharuskan para pejabat memiliki sifat-sifat utama seperti taqwallah (taqwa
kepada Allah), sidiq (berkata benar), amanah (jujur), tablig (menyampaikan
amanat) serta pintar. Faktor lain yang membuat Islam bisa menjadi ideologi
terkemuka di daerah ini adalah coraknya yang sufistik. Islam dengan corak ini
begitu memikat karena sangat menekankan kepada ilmu kesempurnaan hidup.Orang
Bima menyebutnya Ngaji Tua.Penekanannya adalah pada jiwa dan qalbu (tarikat,
Hakikat dan makhrifat) dan tentu saja syariat. Para sufi kelana seperti Datu Di
Bandang dan Di Tiro di abad ke-17 amat berjasa menancapkan Islam sufistik di
Bima. Para sufi ini jualah yang mengislamkan Gowa-Makasar dan kerajaan-kerajaan
di Sulawesi. Tak mengherankan kalau kemudian orang Bima menyukai Sulawesi untuk
menimba ilmu agama sembari berdagang. Ada rantai spiritual Bima dengan Sulawesi
karena praktek Tarekat Saman atau Khalwatiyah sangat dominan di sana. Itulah
tarekat yang digandrungi banyak orang Bima dan mendasari Ngaji Tua atau Ilmu
Bathin.Para penuntut ilmu serta mukimin asal Bima di Mekkah juga ikut mendorong
tumbuhnya Islam Sufistik ini.Sepulang dari Mekkah, mereka menjadi guru-guru
yang sangat dikagumi bahkan diyakini memiliki karomah.Salah satu syekh yang
punya kesalehan mistis dan sangat legendaris di kalangan masyarakat Bima dan
Dompu adalah Syekh Mahdali atau Sehe Boe. Seperti kelas-kelas Islam di Jawa, di
Bima pun ada kaum abangan dan priyayi, disamping kaum santri.
Beberapa konsep hukum adat
tentang penetapan kembali hukum Islam di Bima, diantaranya: Pertama, Orang
dalam negeri (sesama rakyat) tidak boleh sekali-sekali diperhambakan meskipun
lebih daripada harga dirinya sekalipun melainkan tersangkut urusan utang.
Kedua, Raja-raja dan orang besar diperintahkan bersedekah pada bulan
maulid.Ketiga, Jika ada pencuri maka kalau harta yang dicuri sebanyak 10 real,
maka didenda 16 real. Namun, jika kurang dari 10 real maka 1 real didenda
menjadi 2 real, seekor menjadi dua ekor, namun bila yang dicurinya hilang maka
harus digantikannya. Keempat, Jika ada kesusahan dalam negeri maka hendaklah
seluruh jeneli, tureli dan gelarang bermufakat mencari penyelesaiannya. Kelima,
Jika membuat tunggul, bendera atau payung maka hendaklah dibuat sesaji
dan dipercikkan air serta dibacakan do,a kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Keenam, Jika ada anak raja-raja atau hamba atau jena-jena memaki aniya hamba
orang lain atau rakyat lain maka dendanya 40 real. Denda juga diberikan pada
saksi yang melihat.
Namun untuk menerapkan
hukum adat tersebut maka dibentuklah beberapan penggawal untuk menjaga
keamanan. Diantaranya: Pertama, Tureli/bupati: belo, bolo, woha, sakuru, parado
dan tureli donggo. Kedua, Jeneli/camat terdiri dari 3-6 orang, namun pada
abad 19 bertambah jadi 11 orang. Ketiga, Bumi, anggotanya terdiri
dari 10 orang yang bergelar bumi rasa na’e dan bertugas untuk membantu tureli
dan jeneli. Keempat, Gelarang atau kepala desa yang dilantik oleh Raja Bicara,
Gelarang Belo, Bolo dan Sape.
Adat/tradisi sebagai
perwujudan Identitas keislaman di Bima, diantaranya: Pertama, adat Hanta U’a
Pua. Jadilah prosesi adat Hanta U’a Pua sebuah perpaduan seni dengan prosesi
ritual yang mensimbolkan tentang janji yang harus selalu diingat oleh Sultan.Janji
dan peringatan ini disimbolisasikan dengan 99 buah bunga telur (bunga dolu)
yang melambangkan asmaul husnah.Bunga dolu inilah yang menjadi sirih puan,
setelah pada malam harinya diadakan dzikir roko.Keesok harinya, sirih puan
diusung menggunakan uma lige.Juga didalamnya terdapat tarian, yaitu tarian
lenggo Mbojo dan tarian lenggo melayu.Tari-tarian inilah yang menjadi sebuah
kesenian yang sakral pada saat itu.Sakral karena tariang lenggo mbojo dan
melayu ini hanya dipertunjukan pada saat-saat tertentu saja, seperti pada
perayaan-perayaan Islam.
Kedua, Rimpu. Rimpu menjadi
cerminan masyarakat Bima yang menjunjung tinggi nilai keislaman, selain itu
juga buat melindungi diri ketika beraktivitas di luar rumah.Rimpu, ada 2
model.Ada Rimpu Mpida.Rimpu Mpida teruntuk khusus buat gadis Bima atau yang
belum berkeluarga.Model ini juga sering disebut cadar ala Bima.Dalam kebudayaan
masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya,
tapi bukan berarti gerak-geraknya dibatasi.Selain rimpu Mpida, ada juga Rimpu
Colo. Rimpu Colo ini teruntuk ibu-ibu atau wanita yang sudah menikah.Mukanya
sudah boleh kelihatan.Di pasar-pasar tradisional, masih bisa ditemukan ibu-ibu
yang memakai rimpu dengan sarung khas dari Bima (Tembe Nggoli).
Selain adat Hanta U’a Pua
dan Rimpu, Adat/tradisi sebagai perwujudan Identitas keislaman di Bima ada juga
Arubana, Hadorah, Dzikir Kapanca, Arubana, Toho Ro Tore, Syukuran Hasil Panen,
Kapatu Mbojo, dan lain-lain.
Menelusuri sejarah serta
keunikan budaya Islam di dana mbojo dari berbagai macam versi dan karya yang
telah ada, penulis menemukan titik kemiripan atau kesamaan atas sejarah
masuknya Islam dan budaya Islam di Bima, bahwa kesultanan Islam di Mbojo pada
awal mulanya masuk melalui pengaruh kesepakatan politik dari kerajaan
gowa-makasar dalam membangun hubungan perhabatan serta menyebarkan agama Islam
ke seluruh rakyat Mbojo.
Namun di era modernisasi
ini, para generasi penerus dalam mempelajari sejarah masuknya Islam serta
budaya Islam di bima mengalami kemunduran yang sangat signifikan, hal itu bisa
kita lihat dari realitas yang ada, misalnya: sistem pendidikan yang ada
di kabupaten Bima tidak mewajibkan adanya mata pelajaran sejarah kerajaan di
Bima, sehingga generasi sekarang banyak yang tidak tau atau bahkan sudah
melupakan sejarah serta identitas keislam di dana Mbojo/Mbari.
Referensi :
Ahmad Amin. 1971. Pemerintah Bima: Sejarah Pemerintah Bima dan Serba Serbi Budaya Bima, Jilid 1. Bima: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Siti Maryam R Salahudin. 2004. Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima.
Mataram: Lengge
Aljihadi,
Ismail. 2015. "Identitas dan Budaya Islam
di Bima". http://www.fimny.org/2015/02/identitas-dan-budaya-islam-di-bima.html
http://sosbud.kompasiana.com
http://sosbud.kompasiana.com